About

2NE1 - I Am the Best

Powered by mp3skull.com
Asih Nurhidayati

Pages

Kamis, 16 Mei 2013

ahliyyah al-ada'

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh    mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi. Seperti wajib, sunnah, haram, makruh, mubah maupun yang terkait dengan hukum wad’i seperti sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhson.
Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, Karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf).
Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum yang dalam ushul fiqih kita sebut dengan ahliyyah. Ahliyyah itu sendiri terbagi atas dua yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’. Namun di dalam makalah ini, penulis hanya akan menjelaskan mengenai ahliyyah al-ada’. Penulis akan mencoba menjabarkan mengenai ahliyyah al-ada’ secara lebih terperinci. Di mulai dari pengenalan akan ahliyyah itu sendiri kemudian dilanjutkan dengan pengertian dan penjelasan tentang ahliyyah al-ada’ secara lebih jelas lagi disertai dengan beberapa contoh yang mudah untuk dipahami. Di dalam makalah ini juga akan coba dijelaskan mengenai halangan untuk ahliyyah al-ada’.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari ahliyyah?
2.    Apa pengertian dari ahliyyah al-Ada’?
3.    Bagaimana halangan ahliyyah al-Ada’?
C.    Tujuan
1.    Mengetahui pengertian dari ahliyyah.
2.    Mengetahui pengertian dari ahliyyah al-Ada.
3.    Mengetahui halangan ahliyyah al-Ada’.

D.    Metode
Metode yang digunakan penulis untuk menyusun makalah ini adalah study pustaka yaitu usaha penulis menghimpun informasi-informasi yang relevan dari buku-buku ilmiah, ensiklopedi, dan sumber-sumber baik tercetak ataupun elektronik lain.

BAB II
PEMBAHASAN

E.    Pengertian Ahliyyah
    Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia di anggap ahli untuk menangani bidang tersebut.
    Adapun secara terminologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendifinisikan:
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Syari’ (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah cakap dikenal tuntunan syara”.
    Menurut para ahli ushul fiqih:
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syafi’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara”.
    Syeikh Muhammad Abu Zahrah memaknakan keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukallaf agar ucapan dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara’. Menurut Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah keahlian melaksanakan adalah kemampuan bekerja yaitu seseorang telah pantas menerima haknya sendiri dan melahirkan hak atas orang lain kerena perbuatannya. Jadi, keahlian melaksanakan adalah suatu fase dimana seorang mukallaf telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan-perbuatannya di hadapan hukum.
    Para ulama ushul telah sepakat bahwa masa datangnya Ahliyyatul al-ada’ menurut syara’ adalah bersama dengan tibanya usia taklif yang ditandai dengan akal dan baligh.
Ahliyyah adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. (H.R.Al-Bukari)
    Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual belinya, hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung-jawab, seperti nikah, nafkah dan menjadi saksi.
   
    Kemampuan untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih, membagi ahliyyah tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya.

F.    Pengertian Ahliyyah Al-Ada’
    Ahliyyah al-Ada’ (الآداء اهلية) adalah kelayakan seorang mukallaf untuk dianggap sah segala ucapan dan tindakannya menurut syara’. Artinya, apabila seseorang mukallaf melakukan suatu tindakan, tindakan itu dianggap sah menurut syara’ dan mempunyai konsekuensi hukum. Misalnya, bila ia mengadakan transaksi bisnis, tindakannya itu dipandang sah dan ada konsekuensi hukumnya. Bila ia melakukan shalat, puasa atau melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya, perbuatannya dianggap sah oleh syara’ (bila cukup rukun dan syaratnya) dan menggugurkan kewajiban mukalaf tersebut. Begitu juga bila ia melakukan pelanggaran terhadap orang lain, ia akan dikenai sanksi hukum pidana, baik pidana badan ataupun harta. Pokoknya, ahliyyah al-Ada’ adalah soal pertanggungjawaban yang didasarkan oleh akal atau kecakapan pribadi.
    Ahliyyah Al-Ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ maka ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan untuk itu ia diberi pahala.  Sebaliknya, bila melanggar tuntutan syara’, maka ia dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa. Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
    Menurut kesepakatan ulama ushul fiqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah:

1.    Aqil Baligh (بــــــالغ عـــــاقل)
    Baligh merupakan istilah dalam hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila :
1.    Mengetahui, memahami, dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta
2.    Telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah.(bagi laki-laki)
3.    Telah mencapai usia 9 tahun ke atas dan atau sudah mengalami "menstruasi". (bagi perempuan)
    Baligh adalah satu masa di mana seorang anak dibebani kewajiban (taklif) syari’at dan akan dihisab yang mana baligh mempunyai tanda-tanda yang dapat dikenal

2.    Cerdas (فـــطانة)
    Cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir, mengerti dsb), tajam pikiran.

Kesepakatan mereka itu didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’: 6:

“Dan ujilah anak yatim itu sama mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya....” (QS. An-Nisa’: 6)

    Kalimat “cukup umur” dalam ayat di atas, menurut ulama ushul fiqih, antara lain ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pri dan keluar haid untuk wanita. Orang seperti itulah yang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan dengan benar. Apabila ia tidak melaksanakan perintah dan melanggar larangan, maka ia harus bertanggung jawab, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi Tolak ukur ahliyyah al-ada’ adalah akal, bila akal sempurna maka sempurna pulalah ahliyyah ini, begitu sebaliknya.
    Hubungan manusia dengan ahliyyah al-ada’ (kemampuan berbuat) yang ada padanya. Dilihat dari segi ini manusia terbagi kepada tiga bagian:
a)    Tidak punya atau hilang ahliyyah al-ada’nya sama sekali.
    Misalnya, anak-anak pada masa kanak-kanaknya dan orang gila pada masa gilanya, karena mereka tidak ada akal. Oleh sebab itu, perbuatan dan perkataannya tidak menimbulkan konsekuensi hukum dan semua akad atau perikatan yang dilakukannya tidak sah atau batal. Bila mereka melakukan tindakan pidana atas jiwa dan hartanya, yang dikenakan padanya hanya hukuman denda, yaitu diyat yang dibunuhnya dan mengganti harta yang rusak atau diambilnya, bukan hukuman badan, bukan pula hukum qishas.

b)    Mempunyai ahliyyah al-ada’ yang tidak sempurna
    Misalnya mumayyiz dan orang yang kurang akal. Akal mereka tidak cacat dan juga tidak hilang. Oleh karena masing-masing mempunyai dasar kemampuan berbuat disebabkan adanya tamyiz, maka tindakannya diperinci kepada tiga macam hal berikut ini:
1.    Tindakan yang semata-mata membawa manfaat bagi dirinya seperti menerima pemberian (hibah dan sedekah). Tindakan semacam ini dianggap sah tanpa izin walinya.
2.    Tindakan yang semata-mata membawa mudharat kepada dirinya, seperti memberikan harta (berhadiah). Tindakan semacam ini dianggap tidak sah sekalipun ada izin walinya.
3.    Tindakan yang menguntungkan, seperti melakukan jual beli. Tindakan semacam ini dianggap sah bila diizinkan walinya.

c). Mempunyai ahliyyah al-ada’ yang penuh, yaitu orang yang dewasa dan sehat akalnya. Maka ahliyyah yang sempurna dapat terealisasi dengan kedewasaan dan berakal.  Seluruh aktivitas mukallaf telah memiliki dampak hukum, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja dalam masalah akad, transaksi dan penggunanaan harta, walaupuan dia telah dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para ulama sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah an-Nisa’; 5.
        Ulama membagi masa yang dilalui oleh manusia sampai mereka menjadi mukallaf yang sebenarnya, kepada:
1.    Masa janin masih dalam kandungan
2.    Masa setelah lahir dan sebelum mumayyiz
3.    Masa setelah mumayyiz
4.    Masa dewasa
        Ketika masih dalam kandungan seseorang mempunyai keahlian menerima tidak penuh dan tidak mempunyai keahlian berbuat sama sekali. Setelah ia lahir dan menjelang tamyiz barulah ia memiliki keahlian berbuat, tetapi belum sempurna. Adakalanya perbuatannya berhubungan dengan hak Allah, seperti shalat, puasa, dipandang sah bila cukup rukun dan syaratnya, tetapi tidak wajib baginya menyelesaikannya. Adapun yang berhubungan dengan hak manusia terbagi kepada:
a.    Yang menguntungkan dapat dilakukan tanpa izin walinya, seperti menerima pemberian.
b.    Yang merugikan tidak dapat dilakukan, meskipun dengan izin walinya, misalnya dalam memberikan suatu harta.
c.    Yang ada rugi dan untungnya, boleh dilakukan setelah izin walinya, seperti jual beli.
     Setelah dewasa manusia itu mempunyai keahlian (ahliyyah) berbuat sepenunya, baik berhubungan dengan hak Allah, hak hamba, dan mu’amalah. Pada masa inilah mereka menjadi mukallaf yang sebenarnya.

G.    Halangan Ahliyyah Al-Ada’
    Setelah di atas disinggung bahwa kemampuan berbuat (ahliyyah al-ada’) itu tetap ada (dipikulkan) terhadap manusia ketika ia masih di janin sampai dilahirkan. Begitupun ketika ia memasuki kanak-kanak sampai uasia tujuh tahun. Sejak usia kanak-kanak sampai baligh (1-14 tahun) manusia tersebut punya keahlian ada’ secara tidak sempurna. Oleh sebab itu, ada di antara tindakannya dianggap sah secara hukum, ada yang tidak sah dan ada pula yang ditangguhkan atas izin walinya.
    Setelah dewasa ia mempunyai keahlian ada’ secara sempurna. Hanya saja, kadang-kadang datang terhadap keahliannya itu beberapa penghalang. Di antara penghalang itu ada yang bersifat samawi (‘awarridh samawiyah), yaitu yang bukan berasal dari perbuatan manusia itu sendiri, seperti lupa, gila, pingsan, tidur dan idiot. Di antaranya lagi ada yang atas usaha manusia itu sendiri (‘awaridh kasbiyah), seperti mabuk, berpergian, jahil (tidak mengetahui), terpaksa dan utang.
    Halangan-halangan itu mempunyai kekuatan dan pengaruh yang berbeda, yaitu:
1.    Di antara halangan-halangan tersebut ada yang hanya mempengaruhi keahlian berbuat (ahliyyah al-ada’)
2.    Di antara halangan-halangan itu ada yang menghapuskan keahlian berbuat sama sekali, selamanya atau sementara, yaitu gila, pingsan, tidur atau mabuk.
3.    Halangan-halangan tersebut tidak menghapuskan keahliannya berbuat, tetapi menyebabkan keringanan, yaitu keadaan sedang berpergian, haid, nifas dan lain sebagainya.
4.    Tidak menghapuskan atau meringankan, melainkan hanya mengubah hukum yang berlaku atas orang yang kena halangan baik untuk kepentingannya atau untuk kepentingan orang lain, seperti sakit keras.

    Pembahasan-pembahasan di atas dapat diperjelas lagi bahwa karena mati, ada’ menjadi hapus, kecuali bagi mayat yang masih punya utang, sebagaiman disebutkan di atas.
    Dengan adanya gila, keahlian menjadi hilang. Segala kerjanya, baik yang berupa kata-kata maupun perbuatan tidak ada pengaruhnya. Karena orang gila telah hilang akalnya sehingga kesadaran berbuat tidak ada. Kedudukannya sama dengan anak-anak yang belum mumayyiz.
    Halangan bertindak hukum dilihat dari segi objek-objeknya di bagi dalam tiga bentuk: (Al-Bannani: 1, 72, Zhahir: 170, Al-Anshari: 166)
a.    Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sem purna (ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa.  Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
“Diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.
b.    Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap batal.
c.    Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orangyang berhutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai dan bodoh. Sifat-sifat tersebut, sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang.




BAB III
PENUTUP

H.    Kesimpulan
Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara terminologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendifinisikan:
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Syari’ (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah cakap dikenal tuntunan syara”.
    Ahliyyah al-Ada’ (اهلية الآداء) adalah kelayakan seorang mukallaf untuk dianggap sah segala ucapan dan tindakannya menurut syara’. artinya, apabila seseorang mukallaf melakukan suatu tindakan, tindakan itu dianggap sah menurut syara’ dan mempunyai konsekuensi hukum.
    Halangan bertindak hukum dilihat dari segi objek-objeknya di bagi dalam tiga bentuk: (Al-Bannani: 1, 72, Zhahir: 170, Al-Anshari: 166)
1.    Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sem purna (ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa.  Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
“Diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.
2.    Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang dungu.
3.    Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orangyang berhutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai dan bodoh.

DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah

Khallaf, Abdul Wahab. 1970. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Al-Najlis al-A’la al-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah

Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Fqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

Syafe’i,Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
http://othoy09.blogspot.com/favicon.ico, di unduh pada 12 November 2012

http://allah-cintaku.blogspot.com/favicon.ico, di unduh pada 12 November 2012

0 komentar:

Posting Komentar