PROBLEMA
PONDOK PESANTREN DIRANAH POLITIK
Oleh : Asih Nurhidayati
Artikel ini adalah hasil resensi
Dari :
Asih Nurhidayati
Judul :
Pondok Pesantren dan Godaan Politik Pilkada
Penulis :
Imam Mustofa, SHI.,MSI
Diterbitkan :
Surat kabar harian Lampung Post
tanggal 12 Februari 2010
Indonesia adalah negeri yang
menampung pesantren terbesar di dunia. Pada tahun 1987 saja pesantren terdata
dalam jumlah 5.000 buah. Dari data-data tersebut, kita patut berbangga dan bernafas
lega bahwa pilar-pilar Islam di Indonesia masih solid. Namun saat ini,
pesantren di salah artikan oleh pihak-pihak tertentu seperti halnya politisi.
Pesantren seolah menjadi tempat untuk
memuluskan pencalonan mereka. Apakah permintaan restu para calon politisi saat
ini untuk kemaslamatan umat? Atau hanya untuk mengejar status social dan
kekuasaan?
Pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam yang mempunyai nilai historis terhadap gerakan social
keagamaan. Pondok pesantren bukan hanyalembaga pendidikan intelektual, akan
tetapi juga pendidikan spiritual, pendidikan moral dan pendidikan social
kemasyarakatan seperti yang telah dikemukakan oleh mendiang KH. Abdurrahman
Wahit (Gus Dur). Pesantren mempunyai asset yang cukup handal dan tidak bisa diremehkan
termasuk kekuatan politik. Oleh karena itu, pesantren menjadi rebutan politisi
menjelang pemilu.
Akhir-akhir ini, ada kecenderungan
opini yang mengarah ke desakralisasi Ulama. Hal ini muncul karena hingar binger
dunia politik dengan segala godaannya. Seperti yang dikemukakan oleh Asep M
Tamam dalam artikelnya. Godaan politik yang cukup mempesona membuat santri atau
Kyainya terjebak kedalam dunia politik yang njimet ini.
Pada paragraph kelima artikel
tentang para calon politisi rajin bersilahturahmi dengan para tokoh masyarakat
termasuk Kyai yang mengasuh pondok pesantren memang tak semestinya dan patut
dipertanyakan. Bila kita melihat dan menganalisis perilaku politisi sekarang
ini, restu Kyai hanyalah untuk memuluskan jalannya saja. Seandainya niat para
politisi baik dan benar-benar ingin mengabdi kepada masyarakat kenapa mereka
mendekati Kyai hanya ketika mereka membutuhkan dukungan.
Terjunnya Kyai kedalam kancah
politik telah membawa akibat buruk pada keberlangsungan pendidikan keagamaan
pada masyarakat. Seperti yang terdapat di artikel yakni akan terjadi
kesenggangan dengan masyarakat atau pesantren lain yang netral atau mendukung
politisi yang berbeda dengan pesantren tersebut. Selain itu dunia pesantren dan
politik sangatlah berbeda sehingga kurang pantas jika keduanya digabungkan
hanya untuk kekuasaan.
Alangkah lebih elegannya apabila
Kyai dengan pondok pesantrennya bersikap netral. Karena seandainya Kyai tidak
mempunyai banyak umat, maka Kyai tidak akan pernah laku di ranah politik karena
mereka dianggap primitive dan tidak tahu sama sekali urusan politik yang rumit
ini. Ungkap Nasarudin Andsmarta di makalahnya tentang Kyai, Pesantren dan
Godaan Politik Praktis.
Penghargaan setinggi-tingginya patut
diarahkan kepada para Ulama yang tetap mantap berada di singgasana
pesantrennya. Karena umat ingin ulama tidak terjebak dalam grey area (syubhat)
politik, bisnis dan aktivitas duniawi lainnya. Umat ingin Ulama tetap menjadi
rujukan langkah, ucapan dan perilaku, menjadi sumber mata air ilmu yang terus
menetes, mengalir dan member kesejukan bagi dahaga panjang mereka.
Membaca paragraph demi paragraph
yang tersaji dalam artikel, terasa kuatnya kegelisahan penulis terhadap masa
depan pesantren yang sudah di ikut sertakan dalam kegiatan politik yang sering
menimbulkan fitnah ini. Melalui pendekatan kritis penulis berupaya mengungkap
kenyataan bahwa dunia politik tak seharusnya masuk langsung ke dunia pesantren.
Karena tradisi pesantren sangatlah berbeda dengan moralitas dan misi politik.
Artikel mengungkap kondisi nyata bahwa pesantren sudah ikut terlibat dan ikut
mendukung politisi-politisi menjelang pemilu.
0 komentar:
Posting Komentar