TUGAS INDIVIDU
Ahliyyah Al-Ada’
Makalah
Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen
Pengampu: Drs. H. Musnad Rozin, M.H
Disusun
oleh:
Nama : Asih
Nurhidayati
NPM : 1172194
Jurusan : Syari’ah
Program
Study : Ekonomi Islam
Kelas : E
Semester : III (Tiga)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
TA. 2012/2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang
Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pengampun serta Maha Penerima Taubat bagi
hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat dan mohon ampunan-Nya.
Berkat Rahmat dan Hidayah-Nya serta
Inayah-Nya pulalah, kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Drs. H. Musnad Rozin, M.H selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh. Yang
telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Dan mudah-mudahan Allah SWT melindungi
dari kesalahan diri kami dan dari keburukan amal kami. Karena siapa saja yang
disesatkan oleh-Nya maka tidak seorang pun yang bisa memberi petunjuk baginya.
Dan siapa saja yang diberi petunjuk oleh-Nya maka tidak seorang pun dapat
menyesatkannya.
Sholawat dan salam semoga dilimpahkan
kepada pahlawan revolusioner dunia, Putra Abdullah, Nabi Muhammad SAW, yang
telah menunjukkan kita ke jalan yang lurus.
Penulis sadar, bahwa makalah ini masih
banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik pembaca yang membangun sangat
penulis harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Metro, November 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
halaman
HALAMAN
JUDUL.............................................................................................. i
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................... 1
C.
Tujuan................................................................................................... 2
D.
Metode................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
E.
Pengertian Ahliyyah............................................................................ 3
F.
Pengertian Ahliyyah Al-Ada’.............................................................. 4
G.
Halangan Al-Ada’................................................................................ 8
BAB III PENUTUP
H.
Kesimpulan......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup
seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum
yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang
berkait dengan hukum taklifi. Seperti
wajib, sunnah, haram, makruh, mubah maupun yang terkait dengan hukum wad’i
seperti sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhson.
Untuk menyebut
istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, Karena didalam peristiwa
itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram atau lebih mudahnya
adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu
adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut
mahkum alaih (mukallaf).
Seseorang harus mampu dalam bertindak
hukum yang dalam ushul fiqih kita sebut dengan ahliyyah. Ahliyyah itu sendiri
terbagi atas dua yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’. Namun di dalam
makalah ini, penulis hanya akan menjelaskan mengenai ahliyyah al-ada’. Penulis
akan mencoba menjabarkan mengenai ahliyyah al-ada’ secara lebih terperinci. Di
mulai dari pengenalan akan ahliyyah itu sendiri kemudian dilanjutkan dengan
pengertian dan penjelasan tentang ahliyyah al-ada’ secara lebih jelas lagi
disertai dengan beberapa contoh yang mudah untuk dipahami. Di dalam makalah ini
juga akan coba dijelaskan mengenai halangan untuk ahliyyah al-ada’.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ahliyyah?
2. Apa pengertian dari ahliyyah al-Ada’?
3. Bagaimana halangan ahliyyah al-Ada’?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari ahliyyah.
2. Mengetahui pengertian dari ahliyyah al-Ada.
3. Mengetahui halangan ahliyyah al-Ada’.
D.
Metode
Metode yang digunakan penulis untuk menyusun makalah ini
adalah study pustaka yaitu usaha penulis menghimpun informasi-informasi yang
relevan dari buku-buku ilmiah, ensiklopedi, dan sumber-sumber baik tercetak
ataupun elektronik lain.
BAB II
PEMBAHASAN
E.
Pengertian Ahliyyah
Secara
harfiyah (etimologi), ahliyyah
berarti kecakapan menangani suatu urusan. Misalnya orang yang memiliki
kemampuan dalam suatu bidang, maka ia di anggap ahli untuk menangani bidang
tersebut.
Adapun
secara terminologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendifinisikan:[1]
“Suatu sifat
yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Syari’ (pembuat hukum)
untuk menentukan seseorang telah cakap dikenal tuntunan syara”.
Menurut
para ahli ushul fiqih:[2]
“Suatu sifat
yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syafi’untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara”.
Syeikh Muhammad Abu Zahrah memaknakan keahlian melaksanakan adalah
kelayakan seorang mukallaf agar
ucapan dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara’. Menurut Prof. Dr.
Muhammad Abu Zahrah keahlian melaksanakan adalah kemampuan bekerja yaitu
seseorang telah pantas menerima haknya sendiri dan melahirkan hak atas orang
lain kerena perbuatannya. Jadi, keahlian melaksanakan adalah suatu fase dimana
seorang mukallaf telah dianggap
sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan-perbuatannya di
hadapan hukum.
Para ulama ushul telah sepakat bahwa masa datangnya Ahliyyatul al-ada’ menurut syara’ adalah bersama
dengan tibanya usia taklif yang
ditandai dengan akal dan baligh.[3]
Ahliyyah adalah suatu
sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. (H.R.Al-Bukari)[4]
Dari
definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah
adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang
telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan suatu tindakan
hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Dengan
demikian, jual belinya, hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah
dianggap mampu untuk menerima tanggung-jawab, seperti nikah, nafkah dan menjadi
saksi.
Kemampuan
untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang secara sekaligus, tetapi
melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan
akalnya. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih, membagi ahliyyah tersebut sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan
jasmani dan akalnya.
F.
Pengertian Ahliyyah
Al-Ada’
Ahliyyah al-Ada’ (الآداء اهلية) adalah kelayakan seorang
mukallaf untuk dianggap sah segala
ucapan dan tindakannya menurut syara’. Artinya, apabila seseorang mukallaf melakukan suatu tindakan,
tindakan itu dianggap sah menurut syara’ dan mempunyai konsekuensi hukum.
Misalnya, bila ia mengadakan transaksi bisnis, tindakannya itu dipandang sah
dan ada konsekuensi hukumnya. Bila ia melakukan shalat, puasa atau melaksanakan
kewajiban-kewajiban lainnya, perbuatannya dianggap sah oleh syara’ (bila cukup
rukun dan syaratnya) dan menggugurkan kewajiban mukalaf tersebut. Begitu juga bila ia melakukan pelanggaran
terhadap orang lain, ia akan dikenai sanksi hukum pidana, baik pidana badan
ataupun harta. Pokoknya, ahliyyah al-Ada’
adalah soal pertanggungjawaban yang didasarkan oleh akal atau kecakapan
pribadi.[5]
Ahliyyah Al-Ada’ adalah sifat kecakapan
bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ maka ia dianggap
telah memenuhi kewajiban dan untuk itu ia diberi pahala.[6]
Sebaliknya, bila melanggar tuntutan syara’, maka ia dianggap berdosa dan akan
mendapatkan siksa. Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak
dan kewajiban.[7]
Menurut
kesepakatan ulama ushul fiqih, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah
seseorang telah memiliki ahliyyah ada’
adalah:
1.
Aqil Baligh (بــــــالغ عـــــاقل)
Baligh merupakan istilah dalam hukum Islam yang menunjukkan
seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata
bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya
"telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum
Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila :
- Mengetahui, memahami, dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta
- Telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah.(bagi laki-laki)
- Telah mencapai usia 9 tahun ke atas dan atau sudah mengalami "menstruasi". (bagi perempuan)
Baligh adalah satu
masa di mana seorang anak dibebani kewajiban (taklif) syari’at dan akan dihisab yang mana baligh mempunyai
tanda-tanda yang dapat dikenal
2.
Cerdas (فـــطانة)
Cerdas
adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir, mengerti dsb), tajam
pikiran.
Kesepakatan mereka itu
didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’: 6:
“Dan
ujilah anak yatim itu sama mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya....” (QS. An-Nisa’: 6)
Kalimat
“cukup umur” dalam ayat di atas, menurut ulama ushul fiqih, antara lain ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi
dengan mengeluarkan mani untuk pri dan keluar haid untuk wanita. Orang seperti
itulah yang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh
perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat
ia laksanakan dengan benar. Apabila ia tidak melaksanakan perintah dan
melanggar larangan, maka ia harus bertanggung jawab, baik di dunia maupun di
akhirat. Jadi Tolak ukur ahliyyah
al-ada’ adalah akal, bila akal sempurna maka sempurna pulalah ahliyyah ini, begitu sebaliknya.[8]
Hubungan
manusia dengan ahliyyah al-ada’
(kemampuan berbuat) yang ada padanya. Dilihat dari segi ini manusia terbagi
kepada tiga bagian:
a)
Tidak punya
atau hilang ahliyyah al-ada’nya sama
sekali.
Misalnya,
anak-anak pada masa kanak-kanaknya dan orang gila pada masa gilanya, karena
mereka tidak ada akal. Oleh sebab itu, perbuatan dan perkataannya tidak
menimbulkan konsekuensi hukum dan semua akad atau perikatan yang dilakukannya
tidak sah atau batal. Bila mereka melakukan tindakan pidana atas jiwa dan
hartanya, yang dikenakan padanya hanya hukuman denda, yaitu diyat yang dibunuhnya dan mengganti
harta yang rusak atau diambilnya, bukan hukuman badan, bukan pula hukum qishas.
b)
Mempunyai ahliyyah al-ada’ yang tidak sempurna
Misalnya mumayyiz dan orang yang kurang akal.
Akal mereka tidak cacat dan juga tidak hilang. Oleh karena masing-masing
mempunyai dasar kemampuan berbuat disebabkan adanya tamyiz, maka tindakannya diperinci kepada tiga macam hal berikut
ini:
1.
Tindakan yang
semata-mata membawa manfaat bagi dirinya seperti menerima pemberian (hibah dan
sedekah). Tindakan semacam ini dianggap sah tanpa izin walinya.
2.
Tindakan yang
semata-mata membawa mudharat kepada dirinya, seperti memberikan harta
(berhadiah). Tindakan semacam ini dianggap tidak sah sekalipun ada izin
walinya.
3.
Tindakan yang
menguntungkan, seperti melakukan jual beli. Tindakan semacam ini dianggap sah
bila diizinkan walinya.
c). Mempunyai ahliyyah al-ada’
yang penuh, yaitu orang yang dewasa dan sehat akalnya. Maka ahliyyah yang sempurna dapat terealisasi
dengan kedewasaan dan berakal.[9] Seluruh aktivitas mukallaf telah memiliki dampak hukum, baik dalam
perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja dalam masalah akad, transaksi dan
penggunanaan harta, walaupuan dia telah dewasa (baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para
ulama sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surah
an-Nisa’; 5.
Ulama
membagi masa yang dilalui oleh manusia sampai mereka menjadi mukallaf yang
sebenarnya, kepada:
1. Masa janin masih dalam kandungan
2. Masa setelah lahir dan sebelum mumayyiz
3. Masa setelah mumayyiz
4. Masa dewasa
Ketika
masih dalam kandungan seseorang mempunyai keahlian menerima tidak penuh dan
tidak mempunyai keahlian berbuat sama sekali. Setelah ia lahir dan menjelang tamyiz barulah ia memiliki keahlian
berbuat, tetapi belum sempurna. Adakalanya perbuatannya berhubungan dengan hak
Allah, seperti shalat, puasa, dipandang sah bila cukup rukun dan syaratnya,
tetapi tidak wajib baginya menyelesaikannya. Adapun yang berhubungan dengan hak
manusia terbagi kepada:
a.
Yang
menguntungkan dapat dilakukan tanpa izin walinya, seperti menerima pemberian.
b.
Yang
merugikan tidak dapat dilakukan, meskipun dengan izin walinya, misalnya dalam
memberikan suatu harta.
c.
Yang ada rugi
dan untungnya, boleh dilakukan setelah izin walinya, seperti jual beli.
Setelah
dewasa manusia itu mempunyai keahlian (ahliyyah)
berbuat sepenunya, baik berhubungan dengan hak Allah, hak hamba, dan mu’amalah.
Pada masa inilah mereka menjadi mukallaf
yang sebenarnya.[10]
G.
Halangan Ahliyyah
Al-Ada’
Setelah
di atas disinggung bahwa kemampuan berbuat (ahliyyah
al-ada’) itu tetap ada (dipikulkan) terhadap manusia ketika ia masih di
janin sampai dilahirkan. Begitupun ketika ia memasuki kanak-kanak sampai uasia
tujuh tahun. Sejak usia kanak-kanak sampai baligh (1-14 tahun) manusia tersebut
punya keahlian ada’ secara tidak
sempurna. Oleh sebab itu, ada di antara tindakannya dianggap sah secara hukum,
ada yang tidak sah dan ada pula yang ditangguhkan atas izin walinya.
Setelah
dewasa ia mempunyai keahlian ada’ secara sempurna. Hanya saja, kadang-kadang
datang terhadap keahliannya itu beberapa penghalang. Di antara penghalang itu
ada yang bersifat samawi (‘awarridh
samawiyah), yaitu yang bukan berasal dari perbuatan manusia itu sendiri,
seperti lupa, gila, pingsan, tidur dan idiot. Di antaranya lagi ada yang atas
usaha manusia itu sendiri (‘awaridh
kasbiyah), seperti mabuk, berpergian, jahil (tidak mengetahui), terpaksa
dan utang.
Halangan-halangan
itu mempunyai kekuatan dan pengaruh yang berbeda, yaitu:
1.
Di antara
halangan-halangan tersebut ada yang hanya mempengaruhi keahlian berbuat (ahliyyah al-ada’)
2.
Di antara
halangan-halangan itu ada yang menghapuskan keahlian berbuat sama sekali,
selamanya atau sementara, yaitu gila, pingsan, tidur atau mabuk.
3.
Halangan-halangan
tersebut tidak menghapuskan keahliannya berbuat, tetapi menyebabkan keringanan,
yaitu keadaan sedang berpergian, haid, nifas dan lain sebagainya.
4.
Tidak
menghapuskan atau meringankan, melainkan hanya mengubah hukum yang berlaku atas
orang yang kena halangan baik untuk kepentingannya atau untuk kepentingan orang
lain, seperti sakit keras.
Pembahasan-pembahasan
di atas dapat diperjelas lagi bahwa karena mati, ada’ menjadi hapus, kecuali bagi mayat yang masih punya utang,
sebagaiman disebutkan di atas.
Dengan
adanya gila, keahlian menjadi hilang. Segala kerjanya, baik yang berupa
kata-kata maupun perbuatan tidak ada pengaruhnya. Karena orang gila telah
hilang akalnya sehingga kesadaran berbuat tidak ada. Kedudukannya sama dengan
anak-anak yang belum mumayyiz.
Halangan
bertindak hukum dilihat dari segi objek-objeknya di bagi dalam tiga bentuk: (Al-Bannani:
1, 72, Zhahir: 170, Al-Anshari: 166)
a.
Halangan yang
bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sem purna (ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali,
seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
“Diangkatkan
(pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.
b.
Halangan yang
dapat mengurangi ahliyyah al-ada’,
seperti orang dungu. Orang seperti ini, ahliyyah
al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat
kecakapannya dalam bertindak hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya
bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap
batal.
c.
Halangan yang
sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orangyang berhutang,
pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai dan bodoh. Sifat-sifat tersebut,
sebenarnya tidak mengubah ahliyyah
al-ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan
masalah harta dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan
hak-hak orang yang membayar utang.
BAB III
PENUTUP
H.
Kesimpulan
Secara harfiyah
(etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara
terminologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendifinisikan:
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang
dijadikan ukuran oleh Syari’ (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenal tuntunan syara”.
Ahliyyah al-Ada’ (اهلية الآداء) adalah kelayakan seorang
mukallaf untuk dianggap sah segala ucapan dan tindakannya menurut syara’.
artinya, apabila seseorang mukallaf melakukan suatu tindakan, tindakan itu
dianggap sah menurut syara’ dan mempunyai konsekuensi hukum.
Halangan
bertindak hukum dilihat dari segi objek-objeknya di bagi dalam tiga bentuk:
(Al-Bannani: 1, 72, Zhahir: 170, Al-Anshari: 166)
1.
Halangan yang
bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sem purna (ahliyyah al-ada’) hilang sama sekali,
seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:
“Diangkatkan
(pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa”.
2.
Halangan yang
dapat mengurangi ahliyyah al-ada’,
seperti orang dungu.
3.
Halangan yang
sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang seperti orangyang berhutang,
pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai dan bodoh.
DAFTAR
PUSTAKA
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah
Khallaf, Abdul Wahab. 1970. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Al-Najlis al-A’la al-Indonesia li
al-Dakwah al-Islamiyah
Koto, Alaiddin. 2011.
Ilmu Fqh dan Ushul Fiqh (sebuah
pengantar). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Syafe’i,Rachmat.
2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:
Pustaka Setia
http://othoy09.blogspot.com/favicon.ico, di unduh pada
12 November 2012
http://allah-cintaku.blogspot.com/favicon.ico, di unduh pada
12 November 2012
[1] Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta: Amzah, 2005), cet. 1, hlm. 2
[5] Alaiddin Koto, Ilmu Fqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar),
(Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), edisi 2, cet. IV, hlm. 164
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Jakarta: Al-Najlis al-A’la al-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah,
1970), hlm. 136-139.
0 komentar:
Posting Komentar